Tumor Hidung

Laporan pendahuluan

Tumor Hidung

 

I.    KONSEP MEDIS

Definisi:

  • Semua tumor jinak maupun ganas yang terdapat pada rongga hidung.

Klasifikasi Histopatologi:

  1. Tumor jinak:
  • Dari jaringan lunak    :   fibroma, neurofibroma, meningioma
  • Dari jaringan tulang  :   osteoma, giant cell tumor, displasia fibrosa/ossifying fibrome.
  • Odontogenik             :   kista-isata gigi, ameloblastoma.
  1. Tumor pra ganas:
  • Inverted papilloma
  1. Tumor ganas:
  • Dari epitel                 :   karsinoma sel skuamosa, limfoepitelioma, karsinoma sel basal, silindroma dsb.
  • Dari jaringan ikat      :   fibrisarkoma, rabdomiosarkoma.
  • Dari jaringan tulang/tulang rawan: osteosarkoma, kondrosarkoma.

Gejala Klinis:

Gejala dini tidak khas, pada stadium lanjut tergantung asal tumor dan arah perluasannya.

Gejala hidung:

  • Buntu hidung unilateral dan progresif.
  • Buntu bilateral bila terjadi pendesakan ke sisi lainnya.
  • Skret hidung bervariasi, purulen dan berbau bila ada infeksi.
  • Sekret yang tercampur darah atau adanya epistaksis menunjukkan kemungkinan keganasan.
  • Rasa nyeri di sekitar hidung dapat diakibatkan oleh gangguan ventilasi sinus, sedangkan rasa nyeri terus-menerus dan progresif umumnya akibat infiltrasi tumor ganas.

Gejala lainnya dapat timbul bila sinus paranasal juga terserang tumor seperti:

  • Pembengkakan pipi
  • Pembengkakan palatum durum
  • Geraham atas goyah, maloklusi gigi
  • Gangguan mata bila tumor mendesak rongga orbita.

Diagnosis:

  • Anamnesis yang cermat terhadap gejala klinis.
  • Pemeriksaan:

–          Inspeksi terhadap wajah, mata, pipi, geraham dan palatum

–          Palpasi tumor yang tampak dan kelenjar leher

–          Rinoskopi anterior untuk menilai tumor dalam rongga hidung

–          Rinoskopi posterior untuk melihat ekstensi ke nasofaring

–          Pemeriksaan THT lainnya menurut keperluan.

  • Pemeriksaan penunjang:

–          Foto sinar X:

  • WATER (untuk melihat perluasan tumor di dalam sinus maksilaris dan sinus frontal)
  • Tengkorak lateral ( untuk melihat ekstensi ke fosa kranii anterior/medial)
  • RHEZZE (untuk melihat foramen optikum dan dinding orbita)
  • CT Scan (bila diperlukan dan fasilitas tersedia)

–          Biopsi:

  • Biopsi dengan forsep (Blakesley) dilakukan pada tumor yang tampak. Tumor dalam sinus maksilaris dibiopsi dngan pungsi melalui meatus nasi inferior. Bila perlu dapat dilakukan biopsi dengan pendekatan Caldwell-Luc. Tumor yang tidak mungkin/sulit dibiopsi langsung dilakukan operasi. Untuk kecurigaan terhadap keganasan bila perlu dilakukan potong beku untuk diperiksa lebih lanjut.

Terapi:

  • Tumor jinak:

Terapi pilihan adalah pembedahan dengan pendekatan antara lain:

1)          Rinotomi lateral

2)          Caldwell-Luc

3)          Pendekatan trans-palatal

  • Tumor ganas:

1)          Pembedahan:

  • Reseksi:
    • Rinotomi lateral
    • Maksilektomi partial/total (kombinasi eksenterasi orbita atau dengan kombinasi deseksi leher radikal)
    • Paliatif: mengurangi besar tumor (debulking) sebelum radiasi.

2)          Radiasi:

  • Dilakukan bila operasi kurang radikal atau residif
  • Pra bedah pada tumor yang radio sensitif (mis. Karsinoma Anaplastik,  undifferentiated)

3)          Kemoterapi:

  • Dilakukan atas indikasi tertentu (mis. Tumor sangat besar/inoperable, metastasis jauh, kombinasi dengan radiasi)

II.  KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

PENGKAJIAN

a.      Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik:

Gejala-gejala khas tergantung ukuran tumor, kegansan dan stadium penyakit, antara lain:

Gejala hidung:

  • Buntu hidung unilateral dan progresif.
  • Buntu bilateral bila terjadi pendesakan ke sisi lainnya.
  • Skret hidung bervariasi, purulen dan berbau bila ada infeksi.
  • Sekret yang tercampur darah atau adanya epistaksis menunjukkan kemungkinan keganasan.
  • Rasa nyeri di sekitar hidung dapat diakibatkan oleh gangguan ventilasi sinus, sedangkan rasa nyeri terus-menerus dan progresif umumnya akibat infiltrasi tumor ganas.

Gejala lainnya dapat timbul bila sinus paranasal juga terserang tumor seperti:

  • Pembengkakan pipi
  • Pembengkakan palatum durum
  • Geraham atas goyah, maloklusi gigi
  • Gangguan mata bila tumor mendesak rongga orbita.

Pada tumor ganas didapati gejala sistemik:

  • Penurunan berat badan lebih dari 10 %
  • Kelelahan/malaise umum
  • Napsu makan berkurang (anoreksia)

Pada pemeriksaan fisik didapatkan:

  • Inspeksi terhadap wajah, mata, pipi, geraham dan palatum: didapatkan pembengkakan sesuai lokasi pertumbuhan tumor
  • Palpasi, teraba tumor dan pembesaran kelenjar leher
    • Rinoskopi anterior untuk menilai tumor dalam rongga hidung
    • Rinoskopi posterior untuk melihat ekstensi ke nasofaring
    • Foto sinar X:

b.      Pengkajian Diagnostik:

–          WATER (untuk melihat perluasan tumor di dalam sinus maksilaris dan sinus frontal)

–          Tengkorak lateral ( untuk melihat ekstensi ke fosa kranii anterior/medial)

–          RHEZZE (untuk melihat foramen optikum dan dinding orbita)

–          CT Scan (bila diperlukan dan fasilitas tersedia)

  • Biopsi:

–          Biopsi dengan forsep (Blakesley) dilakukan pada tumor yang tampak. Tumor dalam sinus maksilaris dibiopsi dngan pungsi melalui meatus nasi inferior. Bila perlu dapat dilakukan biopsi dengan pendekatan Caldwell-Luc. Tumor yang tidak mungkin/sulit dibiopsi langsung dilakukan operasi. Untuk kecurigaan terhadap keganasan bila perlu dilakukan potong beku untuk diperiksa lebih lanjut.

DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

1)          Kecemasan b/d krisis situasi (keganasan), ancaman perubahan status kesehatan-sosial-ekonomik, perubahan fungsi-peran, perubahan interaksi sosial, ancaman kematian, perpisahan dari keluarga.

INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

  1. Orientasikan klien dan orang terdekat terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan.
  1. Eksplorasi kecemasan klien dan berikan umpan balik.
  1. Tekankan bahwa kecemasan adalah masalah yang lazim dialami oleh banyak orang dalam situasi klien saat ini.
  1. Ijinkan klien ditemani keluarga (significant others) selama fase kecemasan dan pertahankan ketenangan lingkungan.
  1. Kolaborasi pemberian obat sedatif.
  1. Pantau dan catat respon verbal dan non verbal klien yang menunjukan kecemasan.

 

Informasi yang tepat tentang situasi yang dihadapi klien dapat menurunkan kecemasan/rasa asing terhadap lingkungan sekitar dan membantu klien mengantisipasi dan menerima situasi yang terjadi.Mengidentifikasi faktor pencetus/pemberat masalah kecemasan dan menawarkan solusi yang dapat dilakukan klien.

Menunjukkan bahwa kecemasan adalah wajar dan tidak hanya dialami oleh klien satu-satunya dengan harapan klien dapat memahami dan menerima keadaanya.

Memobilisasi sistem pendukung, mencegah perasaan terisolasi dan menurunkan kecemsan.

Menurunkan kecemasan, memudahkan istirahat.

Menilai perkembangan masalah klien.

 

2)          Gangguan harga diri b/d kelainan bentuk bagian tubuh akibat keganasan, efek-efek radioterapi/kemoterapi.

INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

  1. Diskusikan dengan klien dan keluarga pengaruh diagnosis dan terapi terhadap kehidupan pribadi klien dan aktiviats kerja.
  1. Jelaskan efek samping dari pembedahan, radiasi dan kemoterapi yang perlu diantisipasi klien
  1. Diskusikan tentang upaya pemecahan masalah perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat berkaitan dengan penyakitnya.
  1. Terima kesulitan adaptasi klien terhadap masalah yang dihadapinya dan informasikan kemungkinan perlunya konseling psikologis
  1. Evaluasi support sistem yang dapat membantu klien (keluarga, kerabat, organisasi sosial, tokoh spiritual)
  1. Evaluasi gejala keputusasaan, tidak berdaya, penolakan terapi dan  perasaan tidak berharga yang menunjukkan gangguan harga diri klien.

 

Membantu klien dan keluarga memahami masalah yang dihadapinya sebagai langkah awal proses pemecahan masalah.Efek terapi yang diantisipasi lebih memudahkan proses adaptasi klien terhadap masalah yang mungkin timbul.

Perubahan status kesehatan yang membawa perubahan status sosial-ekonomi-fungsi-peran merupakan masalah yang sering terjadi pada klien keganasan.

Menginformasikan alternatif konseling profesional yang mungkin dapat ditempuh dalam penyelesaian masalah klien.

Mengidentifikasi sumber-sumber pendukung yang mungkin dapat dimanfaatkan dalam meringankan masalah klien.

Menilai perkembangan masalah klien.

 

3)          Nyeri b/d kompresi/destruksi jaringan saraf dan proses inflamasi.

INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

  1. Lakukan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, masase punggung) dan pertahankan aktivitas hiburan (koran, radio)
  1. Ajarkan kepada klien manajemen penatalaksanaan nyeri (teknik relaksasi, napas dalam, visualisasi, bimbingan imajinasi)
  1. Berikan analgetik sesuai program terapi.
  1. Evaluasi keluhan nyeri (skala, lokasi, frekuensi, durasi)

 

Meningkatkan relaksasi dan mengalihkan fokus perhatian klien dari nyeri.Meningkatkan partisipasi klien secara aktif dalam pemecahan masalah dan meningkatkan rasa kontrol diri/keman-dirian.

Analgetik mengurangi respon nyeri.

Menilai perkembangan masalah klien.

 

4)          Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan status metabolik akibat keganasan, efek radioterapi/kemoterapi dan distres emosional.

INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

  1. Dorong klien untuk meningkatkan asupan nutrisi (tinggi kalori tinggi protein) dan asupan cairan yang adekuat.
  1. Kolaborasi dengan tim gizi untuk menetapkan program diet pemulihan bagi klien.
  1. Berikan obat anti emetik dan roborans sesuai program terapi.
  1. Dampingi klien pada saat makan, identifikasi keluhan klien tentang makan yang disajikan.
  1. Timbang berat badan dan ketebalan lipatan kulit trisep (ukuran antropometrik lainnya) sekali seminggu
  1. Kaji hasil pemeriksaan laboratorium (Hb, limfosit total, transferin serum, albumin serum)

 

Asupan nutrisi dan cairan yang adekuat diperlukan untuk mengimbangi status hipermetabolik pada klien dengan keganasan.Kebutuhan nutrisi perlu diprogramkan secara individual dengan melibatkan klien dan tim gizi bila diperlukan.

Anti emetik diberikan bila klien mengalami mual dan roborans mungkin diperlukan untuk meningkatkan napsu makan dan membantu proses metabolisme.

Mencegah masalah kekurangan asupan yang disebabkan oleh diet yang disajikan.

Menilai perkembangan masalah klien.

Menilai perkembangan masalah klien.

 

5)          Risiko infeksi b/d ketidak-adekuatan pertahanan sekunder dan efek imunosupresi radioterapi/kemoterapi

INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

  1. Tekankan penting oral hygiene.
  1. Ajarkan teknik mencuci tangan kepada klien dan keluarga, tekankan untuk menghindari mengorek/me-nyentuh area luka pada rongga hidung (area operasi).
  1. Kaji hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan penurunana fungsi pertahanan tubuh (lekosit, eritrosit, trombosit, Hb, albumin plasma)
  1. Berikan antibiotik sesuai dengan program terapi.
  1. Tekankan pentingnya asupan nutrisi kaya protein sehubungan dengan penurunan daya tahan tubuh.
  1. Kaji tanda-tanda vital dan gejala/tanda infeksi pada seluruh sistem tubuh.

 

Infeksi pada cavum nasi dapat bersumber dari ketidakadekuatan oral hygiene.Mengajarkan upaya preventif untuk menghindari infeksi sekunder.

Menilai perkembagan imunitas seluler/ humoral.

Antibiotik digunakan untuk mengatasi infeksi atau diberikan secara profilaksis pada pasien dengan risiko infeksi.

Protein diperlukan sebagai prekusor pembentukan asam amino penyusun antibodi.

Efek imunosupresif terapi radiasi dan kemoterapi dapat mempermudah timbulnya infeksi lokal dan sistemik.

 

DAFTAR PUSTAKA

Adams at al (1997), Buku Ajar Penyakit THT, Ed. 6, EGC, Jakarta

Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC, Jakarta

Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta

Tim RSUD Dr. Soetomo (1994), Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit THT, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.

Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4, EGC, Jakarta

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

ASKEP KOLELITHIASIS

Kolelithiasis Definisi Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus,batu empedu) merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesika felea) dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu yang memiliki ukuran,bentuk dan komposisi yang bervariasi. Kolelitiasis tidak lazim dijumpai pada anak-anak dan dewasa … Baca lebih lanjut

Galeri Lainnya | Meninggalkan komentar

askep DHF

Askep DHF

Definisi

DHF atau dikenal dengan istilah demam berdarah adalah penyakit yang disebabkan oleh Arbovirus ( arthro podborn virus ) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes ( Aedes Albopictus dan Aedes Aegepty )

Menurut beberapa ahli pengertian DHF sebagai berikut:

  • Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegepty (Christantie Efendy,1995 ).
  • Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbo virus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegepty (betina) (Seoparman , 1990).
  • DHF adalah demam khusus yang dibawa oleh aedes aegepty dan beberapa nyamuk lain yang menyebabkan terjadinya demam. Biasanya dengan cepat menyebar secara efidemik. (Sir,Patrick manson,2001).
  • Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegepty (Seoparman, 1996).

Etiologi

Penyebab DHF adalah Arbovirus ( Arthropodborn Virus ) melalui gigitan nyamuk Aedes ( Aedes Albopictus dan Aedes Aegepty )

Patofisiologi DHF

Virus akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypty. Pertama-tama yang terjadi adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran limpa (Splenomegali).

Kemudian virus akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah kompleks virus-antibody. Dalam sirkulasi akan mengaktivasi system komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a, dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat sebagai factor meningkatnya permeabilitas dinding kapiler pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya perembesan plasma ke ruang ekstra seluler.

Perembesan plasma ke ruang ekstra seluler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok). Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukkan atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena.

Terjadinya trobositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan faktor penyebab terjadinya perdarahan hebat , terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF.

Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan dengan ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan pericard yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus.

Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma telah teratasi, sehingga pemberian cairan intravena harus dikurangi kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung, sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan.

Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik. Gangguan hemostasis pada DHF menyangkut 3 faktor yaitu : perubahan vaskuler, trombositopenia dan gangguan koagulasi.

Pada otopsi penderita DHF, ditemukan tanda-tanda perdarahan hampir di seluruh tubuh, seperti di kulit, paru, saluran pencernaan dan jaringan adrenal.

Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala penyakit DHF adalah :

  • Meningkatnya suhu tubuh
  • Nyeri pada otot seluruh tubuh
  • Nyeri kepala menyeluruh atau berpusat pada supra orbita, retroorbita
  • Suara serak
  • Batuk
  • Epistaksis
  • Disuria
  • Nafsu makan menurun
  • Muntah
  • Ptekie
  • Ekimosis
  • Perdarahan gusi
  • Muntah darah
  • Hematuria masif
  • Melena


Diagnosis

Patokan WHO (1986) untuk menegakkan diagnosis DHF adalah sebagai berikut :

  1. Demam akut, yang tetap tinggi selama 2 – 7 hari kemudian turun secara lisis demam disertai gejala tidak spesifik, seperti anoreksia, lemah, nyeri.
  2. Manifestasi perdarahan :
    1. Uji tourniquet positif
    2. Petekia, purpura, ekimosis
    3. Epistaksis, perdarahan gusi
    4. Hematemesis, melena.
  1. Pembesaran hati yang nyeri tekan, tanpa ikterus.
  2. Dengan atau tanpa renjatan.

Renjatan biasanya terjadi pada saat demam turun (hari ke-3 dan hari ke-7 sakit ). Renjatan yang terjadi pada saat demam biasanya mempunyai prognosis buruk.

  1. Kenaikan nilai Hematokrit / Hemokonsentrasi

Klasifikasi menurut WHO

ü  Derajat I

Demam disertai gejala tidak khas, terdapat manifestasi perdarahan (uji tourniquet positif)

ü  Derajat II

Derajat I ditambah gejala perdarahan spontan dikulit dan perdarahan lain.

ü  Derajat III

Kegagalan sirkulasi darah, nadi cepat dan  lemah, tekanan nadi menurun ( 20 mmhg, kulit dingin, lembab, gelisah, hipotensi )

ü  Derajat IV

Nadi tak teraba, tekanan darah tak dapat diukur

Pemeriksaan Diagnostik

  • Darah Lengkap = Hemokonsentrasi ( Hemaokrit meningkat 20 % atau lebih ) Thrombocitopeni ( 100. 000/ mmatau kurang )
  • Serologi = Uji HI ( hemaaglutinaion Inhibition Test )
  • Rontgen Thorac = Effusi Pleura

 

 

 

 

 

 

Pathways

Askep DHF

 

 

Penatalaksanaan

ü  Medik

  1. DHF tanpa Renjatan

1)      Beri minum banyak ( 1 ½ – 2 Liter / hari )

2)      Obat anti piretik, untuk menurunkan panas, dapat juga dilakukan kompres

3)      Jika kejang maka dapat diberi luminal  ( antionvulsan ) untuk anak <1th dosis 50 mg Im dan untuk anak >1th 75 mg Im. Jika 15 menit kejang belum teratasi , beri lagi luminal dengan dosis 3mg / kb BB ( anak <1th dan pada anak >1th diberikan 5 mg/ kg BB.

4)      Berikan infus jika terus muntah dan hematokrit meningkat

  1. DHF dengan Renjatan

1)      Pasang infus RL

2)      Jika dengan infus tidak ada respon maka berikan plasma expander ( 20 – 30 ml/ kg BB )

3)      Tranfusi jika Hb dan Ht turun

ü  Keperawatan

  1. Pengawasan tanda – tanda vital secara kontinue tiap jam
  • Pemeriksaan Hb, Ht, Trombocyt tiap 4 Jam
  • Observasi intik output
  • Pada pasienDHF derajat I : Pasien diistirahatkan, observasitanda vital tiap 3   jam , periksa Hb, Ht, Thrombosit tiap 4 jam beri minum 1 ½ liter – 2 liter per hari, beri kompres
  • Pada pasien DHF derajat II : pengawasan tanda vital, pemeriksaan Hb, Ht, Thrombocyt, perhatikan gejala seperti nadi lemah, kecil dan cepat, tekanan darah menurun, anuria dan sakit perut, beri infus.
  • Pada pasien DHF derajat III : Infus guyur, posisi semi fowler, beri o2 pengawasan tanda – tanda vital tiap 15 menit, pasang cateter, obsrvasi productie urin tiap jam, periksa Hb, Ht dan thrombocyt.
  1. Resiko Perdarahan
  • Obsevasi perdarahan : Pteckie, Epistaksis, Hematomesis dan melena
  • Catat banyak, warna dari perdarahan
  • Pasang NGT pada pasien dengan perdarahan tractus Gastro Intestinal
  1. Peningkatan suhu tubuh
  • Observasi / Ukur suhu tubuh secara periodik
  • Beri minum banyak
  • Berikan kompres

Asuhan Keperawatan pada pasien DHF

Pengkajian

Dalam memberikan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama dan hal penting dilakukan oleh perawat. Hasil pengkajian yang dilakukan perawat terkumpul dalam bentuk data. Adapun metode atau cara pengumpulan data yang dilakukan dalam pengkajian : wawancara, pemeriksaan (fisik, laboratorium, rontgen), observasi, konsultasi.

  1. Data subyektif

Adalah data yang dikumpulkan berdasarkan keluhan pasien atau keluarga pada pasien DHF, data obyektif yang sering ditemukan menurut Christianti Effendy, 1995 yaitu :

1)      Lemah

2)      Panas atau demam.

3)      Sakit kepala.

4)      Anoreksia, mual, haus, sakit saat menelan.

5)      Nyeri ulu hati.

6)      Nyeri pada otot dan sendi.

7)      Pegal-pegal pada seluruh tubuh.

8)      Konstipasi (sembelit).

  1. Data obyektif :

Adalah data yang diperoleh berdasarkan pengamatan perawat atas kondisi pasien. Data obyektif yang sering dijumpai pada penderita DHF antara lain :

1)      Suhu tubuh tinggi, menggigil, wajah tampak kemerahan.

2)      Mukosa mulut kering, perdarahan gusi, lidah kotor.

3)      Tampak bintik merah pada kulit (petekia), uji torniquet (+), epistaksis, ekimosis, hematoma, hematemesis, melena.

4)      Hiperemia pada tenggorokan.

5)      Nyeri tekan pada epigastrik.

6)      Pada palpasi teraba adanya pembesaran hati dan limpa.

7)      Pada renjatan (derajat IV) nadi cepat dan lemah, hipotensi, ekstremitas dingin, gelisah, sianosis perifer, nafas dangkal.

Pemeriksaan laboratorium pada DHF akan dijumpai :

1)      Ig G dengue positif.

2)      Trombositopenia.

3)      Hemoglobin meningkat > 20 %.

4)      Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat).

5)      Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia, hiponatremia, hipokloremia.

Pada hari ke- 2 dan ke- 3 terjadi leukopenia, netropenia, aneosinofilia, peningkatan limfosit, monosit, dan basofil

1)      SGOT/SGPT mungkin meningkat.

2)      Ureum dan pH darah mungkin meningkat.

3)      Waktu perdarahan memanjang.

4)      Asidosis metabolik.

5)      Pada pemeriksaan urine dijumpai albuminuria ringan.

 

Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang ditemukan pada pasien DHF (Christiante Effendy, 1995) yaitu :

  1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia).
  2. Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit.
  3. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.
  4. Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding plasma.
  5. Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang lemah.
  6. Resiko terjadi syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh.
  7. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (pemasangan infus).
  8. Resiko terjadi perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia.
  9. Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan perdarahan yang dialami pasien.

Perencanaan Keperawatan

  1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia).

Tujuan :

  • Suhu tubuh normal (36 – 370C).
  • Pasien bebas dari demam.

Intervensi :

1)      Kaji saat timbulnya demam.

Rasional : untuk mengidentifikasi pola demam pasien.

2)      Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 3 jam.

Rasional : tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.

3)      Anjurkan pasien untuk banyak minum (2,5 liter/24 jam.±7)

Rasional : Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak.

4)      Berikan kompres hangat.

Rasional : Dengan vasodilatasi dapat meningkatkan penguapan yang mempercepat penurunan suhu tubuh.

5)      Anjurkan untuk tidak memakai selimut dan pakaian yang tebal.

Rasional : pakaian tipis membantu mengurangi penguapan tubuh.

6)      Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program dokter.

Rasional : pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tinggi.

  1. Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit.

Tujuan :

  • Rasa nyaman pasien terpenuhi.
  • Nyeri berkurang atau hilang.

Intervensi :

1)      Kaji tingkat nyeri yang dialami pasien

Rasional : untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien.

2)      Berikan posisi yang nyaman, usahakan situasi ruangan yang tenang.
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri

3)      Alihkan perhatian pasien dari rasa nyeri.

Rasional : Dengan melakukan aktivitas lain pasien dapat melupakan perhatiannya terhadap nyeri yang dialami.

4)      Berikan obat-obat analgetik

Rasional : Analgetik dapat menekan atau mengurangi nyeri pasien.

  1. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.

Tujuan :

  • Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan posisi yang diberikan /dibutuhkan.

Intervensi :

1)      Kaji keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang dialami pasien.

Rasional : Untuk menetapkan cara mengatasinya.

2)      Kaji cara / bagaimana makanan dihidangkan.

Rasional : Cara menghidangkan makanan dapat mempengaruhi nafsu makan pasien.

3)      Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur.

Rasional : Membantu mengurangi kelelahan pasien dan meningkatkan asupan makanan .

4)      Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.

Rasional : Untuk menghindari mual.

5)      Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari.

Rasional : Untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan nutrisi.

6)      Berikan obat-obatan antiemetik sesuai program dokter.

Rasional : Antiemetik membantu pasien mengurangi rasa mual dan muntah dan diharapkan intake nutrisi pasien meningkat.

7)      Ukur berat badan pasien setiap minggu.

Rasional : Untuk mengetahui status gizi pasien

  1. Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas

dinding plasma.

Tujuan :

  • Volume cairan terpenuhi.

Intervensi :

1)      Kaji keadaan umum pasien (lemah, pucat, takikardi) serta tanda-tanda vital.

Rasional : Menetapkan data dasar pasien untuk mengetahui penyimpangan dari keadaan normalnya.

2)      Observasi tanda-tanda syock.

Rasional : Agar dapat segera dilakukan tindakan untuk menangani syok.

3)      Berikan cairan intravena sesuai program dokter

Rasional : Pemberian cairan IV sangat penting bagi pasien yang mengalami kekurangan cairan tubuh karena cairan tubuh karena cairan langsung masuk ke dalam pembuluh darah.

4)      Anjurkan pasien untuk banyak minum.

Rasional : Asupan cairan sangat diperlukan untuk menambah volume cairan tubuh.

5)      Catat intake dan output.

Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan.

  1. Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang lemah.

Tujuan :

  • Pasien mampu mandiri setelah bebas demam.
  • Kebutuhan aktivitas sehari-hari terpenuhi

Intervensi :

1)      Kaji keluhan pasien.

2)      Rasional : Untuk mengidentifikasi masalah-masalah pasien.

3)      Kaji hal-hal yang mampu atau yang tidak mampu dilakukan oleh pasien.

4)      Rasional : Untuk mengetahui tingkat ketergantungan pasien dalam memenuhi kebutuhannya.

5)      Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan aktivitasnya sehari-hari sesuai tingkat keterbatasan pasien.

6)      Rasional : Pemberian bantuan sangat diperlukan oleh pasien pada saat kondisinya lemah dan perawat mempunyai tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari pasien tanpa mengalami ketergantungan pada perawat.

7)      Letakkan barang-barang di tempat yang mudah terjangkau oleh pasien.

8)      Rasional : Akan membantu pasien untuk memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan orang lain.

  1. Resiko terjadinya syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan

Tubuh

Tujuan :

  • Tidak terjadi syok hipovolemik.
  • Tanda-tanda vital dalam batas normal.
  • Keadaan umum baik.

Intervensi :

1)      Monitor keadaan umum pasien

Rasional : memantau kondisi pasien selama masa perawatan terutama pada saat terjadi perdarahan sehingga segera diketahui tanda syok dan dapat segera ditangani.

2)      Observasi tanda-tanda vital tiap 2 sampai 3 jam.

Rasional : tanda vital normal menandakan keadaan umum baik.

3)      Monitor tanda perdarahan.

Rasional : Perdarahan cepat diketahui dan dapat diatasi sehingga pasien tidak sampai syok hipovolemik.

4)      Chek haemoglobin, hematokrit, trombosit

Rasional : Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang dialami pasien sebagai acuan melakukan tindakan lebih lanjut.

5)      Berikan transfusi sesuai program dokter.

Rasional : Untuk menggantikan volume darah serta komponen darah yang hilang.

6)      Lapor dokter bila tampak syok hipovolemik.

Rasional : Untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut sesegera mungkin.

  1. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (infus).

Tujuan :

  • Tidak terjadi infeksi pada pasien.

Intervensi :

1)      Lakukan teknik aseptik saat melakukan tindakan pemasangan infus.

Rasional : Tindakan aseptik merupakan tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadi infeksi.

2)      Observasi tanda-tanda vital.

Rasional : Menetapkan data dasar pasien, terjadi peradangan dapat diketahui dari penyimpangan nilai tanda vital.

3)      Observasi daerah pemasangan infus.

Rasional : Mengetahui tanda infeksi pada pemasangan infus.

4)      Segera cabut infus bila tampak adanya pembengkakan atau plebitis.

Rasional : Untuk menghindari kondisi yang lebih buruk atau penyulit lebih lanjut.

  1. Resiko terjadinya perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia.

Tujuan :

  • Tidak terjadi tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
  • Jumlah trombosit meningkat.

Intervensi :

1)      Monitor tanda penurunan trombosit yang disertai gejala klinis.

Rasional : Penurunan trombosit merupakan tanda kebocoran pembuluh darah.

2)      Anjurkan pasien untuk banyak istirahat

Rasional : Aktivitas pasien yang tidak terkontrol dapat menyebabkan perdarahan.

3)      Beri penjelasan untuk segera melapor bila ada tanda perdarahan lebih lanjut.

Rasional : Membantu pasien mendapatkan penanganan sedini mungkin.

4)      Jelaskan obat yang diberikan dan manfaatnya.

Rasional : Memotivasi pasien untuk mau minum obat sesuai dosis yang diberikan.

  1. Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan perdarahan

yang dialami pasien.

Tujuan :

  • Kecemasan berkurang.

Intervensi :

1)      Kaji rasa cemas yang dialami pasien.

Rasional : Menetapkan tingkat kecemasan yang dialami pasien.

2)      Jalin hubungan saling percaya dengan pasien.

Rasional : Pasien bersifat terbuka dengan perawat.

3)      Tunjukkan sifat empati

Rasional : Sikap empati akan membuat pasien merasa diperhatikan dengan baik.

4)      Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya

Rasional : Meringankan beban pikiran pasien.

5)      Gunakan komunikasi terapeutik

Rasional : Agar segala sesuatu yang disampaikan diajarkan pada pasien memberikan hasil yang efektif.

Implementasi

Pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien anak dengan DHF disesuaikan dengan intervensi yang telah direncanakan.

Evaluasi Keperawatan.

Hasil asuhan keperawatan pada klien anak dengan DHF sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi ini didasarkan pada hasil yang diharapkan atau perubahan yang terjadi pada pasien.

Adapun sasaran evaluasi pada pasien demam berdarah dengue sebagai berikut :

  1. Suhu tubuh pasien normal (36- 370C), pasien bebas dari demam.
  2. Pasien akan mengungkapkan rasa nyeri berkurang.
  3. Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan atau dibutuhkan.
  4. Keseimbangan cairan akan tetap terjaga dan kebutuhan cairan pada pasien terpenuhi.
  5. Aktivitas sehari-hari pasien dapat terpenuhi.
  6. Pasien akan mempertahankan sehingga tidak terjadi syok hypovolemik dengan tanda vital dalam batas normal.
  7. Infeksi tidak terjadi.
  8. Tidak terjadi perdarahan lebih lanjut.
  9. Kecemasan pasien akan berkurang dan mendengarkan penjelasan dari perawat tentang proses penyakitnya.

Pencegahan DHF

Menghindari atau mencegah berkembangnya nyamuk Aedes Aegepty dengan cara:

  1. Rumah selalu terang
  2. Tidak menggantung pakaian
  3. Bak / tempat penampungan air sering dibersihkan dan diganti airnya minimal 4 hari sekali
  1. Kubur barang – barang bekas yang memungkinkan sebagai tempat terkumpulnya air hujan
  2. Tutup tempat penampungan air

Perencanaan pemulangan dan pendidikan kesehatan

  1. Berikan informasi tentang kebutuhan melakukan aktifitas sesuai dengan tingkat perkembangan dan kondisi fisik anak
  2. Jelaskan terapi yang diberikan, dosis efek samping
  3. Menjelaskan gejala – gejala kekambuhan penyakit dan hal yang harus dilakukan untuk mengatasi gejala
  4. Tekankan untuk melakukan kontrol sesuai waktu yang ditentukan

Daftar Pustaka

Buku ajar IKA infeksi dan penyakit tropis IDAI Edisi I. Editor : Sumarmo, S Purwo Sudomo, Harry Gama, Sri rejeki Bag IKA FKUI jkt 2002.

Christantie, Effendy. SKp, Perawatan Pasien DHF. Jakarta, EGC, 1995

Prinsip – Prinsip Keperawatan Nancy Roper hal 269 – 267

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

ILEUS OBSTRUKSI

ILEUS OBSTRUKTI Definisi Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan (apapun penyebabnya) aliran normal isi usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus dapat akut dengan kronik, partial atau total. Obstruksi usus biasanya mengenai kolon sebagai akibat karsino ma dan perkembangannya lambat. Sebahagaian … Baca lebih lanjut

Galeri Lainnya | Meninggalkan komentar

Askep Hipertropi Prostat

HIPERTROPI PROSTAT

Defenisi

Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang kemudian mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. (Jong, Wim de, 1998).

Hipertropi Prostat adalah pembesaran dari kelenjar prostat yang disebabkan oleh bertambahnya sel-sel glandular dan interstitial yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan gangguan aliran urine, dan kebanyakan terjadi pada umur lebih dari 50 tahun.

Hipertropi dari kelenjar periuretral ini kemudian mendesak jaringan prostat yang asli ke penfer dan menjadi kasus.

Etiologi

Banyak teori yang menjelaskan terjadinya pembesaran kelenjar prostat, namun sampai sekarang belum ada kesepakatan mengenai hal tersebut. Ada beberapa teori mengemukakan mengapa kelenjar periurethral dapat mengalami hiperplasia, yaitu :

  • Teori Sel Stem (Isaacs 1984)

Berdasarkan teori ini jaringan prostat pada orang dewasa berada pada keseimbangan antara pertumbuhan sel dan sel mati, keadaan ini disebut steady state. Pada jaringan prostat terdapat sel stem yang dapat berproliferasi lebih cepat, sehingga terjadi hiperplasia kelenjar periurethral.

  • Teori MC Neal (1978)

Menurut MC. Neal, pembesaran prostat jinak dimulai dari zona transisi yang letaknya sebelah proksimal dari spincter eksterna pada kedua sisi veromontatum di zona periurethral.

  • Teori Di Hidro Testosteron (DHT)

Testosteron adalah hormon pria yang dihasilkan oleh sel leyding. Testosteron sebagian besar dihasilkan oleh kedua testis, sehingga timbulnya pembesaran prostat memerlukan adanya testis yang normal. Jumlah testosteron yang dihasilkan oleh testis kira-kira 90 % dari seluruh produksi testosteron, sedang yang 10 % dihasilkan oleh kelenjar adrenal.

50 tahun ke atas. ±Sebagian besar testosteron dalam tubuh berada dalam keadaan terikat dengan protein dalam bentuk Serum Binding Hormon (SBH). Sekitar 2 % testosteron berada dalam keadaan bebas. Hormon yang bebas inilah yang memegang peranan dalam proses terjadinya pembesaran kelenjar prostat. Testosteron bebas dapat masuk ke dalam sel prostat dengan menembus membran sel ke dalam sitoplasma sel prostat sehingga membentuk DHT – reseptor komplek yang akan mempengaruhi Asam Ribo Nukleat (RNA) yang dapat menyebabkan terjadinya sintetis protein sehingga dapat terjadi proliferasi sel (MC Connel 1990). Perubahan keseimbangan testosteron dan estrogen dapat terjadi dengan bertambahnya usia

Gejala

Seiring dengan bertambahnya usia, kelenjar prostat akan terus membesar. Pada sebagian pria, pembesaran ini cukup signifikan sehingga menekan saluran kencing (urethra) yang diselubunginya. Akibatnya, diameter saluran kencing akan mengecil, atau bahkan tersumbat sama sekali. Hal inilah yang menjadi penyebab timbulnya gejala yang dirasakan penderita.

Gejala-gejala tersebut antara lain :

  • Sulit untuk mulai berkemih.
  • Aliran kemih lemah, dan kadang-kadang terhenti.
  • Kencing menetes sebelum dan setelah berkemih.
  • Sering merasa sangat ingin berkemih.
  • Sering bangun di malam hari untuk berkemih.
  • Rasa tidak puas setelah berkemih, terasa kandung kemih masih ada isinya tetapi sudah tidak bisa dikeluarkan lagi.

Kadang-kadang pembesaran kelenjar prostat akan memicu timbulnya komplikasi berupa infeksi saluran kemih, batu saluran kemih, kencing keluar darah, dan gangguan fungsi ginjal.

Tetapi perlu diingat, jika Anda atau seseorang mengalami gejala seperti di atas, tidak dapat dengan serta merta dikatakan orang tersebut menderita pembesaran kelenjar prostat. Banyak gangguan atau penyakit yang memberikan gejala yang hampir sama. Oleh karena itu, sebelum diagnosis pembesaran kelenjar prostat jinak ditegakkan, maka serangkaian pemeriksaan harus dilakukan, antara lain colok dubur, analisis urin, uji PSA (prostatic specific antigen), biopsi, dll.

Gangguan yang sering memberikan gejala mirip pembesaran prostat antara lain batu kandung kemih, infeksi saluran kencing, gagal jantung, diabetes, stroke, gangguan persarafan, peradangan prostat, kanker prostat, jaringan parut pada saluran kencing, dll.

Berdasarkan angka otopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi perubahan patologik anatomik. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut di atas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.

Anatomi Dan Fisiologi

Spincter externa mengelilingi urethra di bawah vesica urinaria pada wanita, tetapi pada laki-laki terdapat kelenjar prostat yang berada dibelakang spincter penutup urethra. Prostat mengekskresikan cairannya ke dalam urethra pada saat ejakulasi, cairan prostat ini memberi makanan kepada sperma. Cairan ini memasuki urethra pars prostatika dari vas deferens.
Prostat dilewati oleh :

  1. Ductus ejakulatorius, terdiri dari 2 buah berasal dari vesica seminalis bermuara ke urethra.
  2. Urethra itu sendiri, yang panjangnya 17 – 23 cm

 

Secara otomatis besarnya prostat adalah sebagai berikut :

  1. Transversal : 1,5 inchi
  2. Vertical : 1,25 inchi
  3. Anterior Posterior : 0,75 inchi

Prostat terdiri dari 5 lobus yaitu :

  1. Dua lobus lateralis
  2. Satu lobus posterior
  3. Satu lobus anterior
  4. Satu lobus medial

Kelenjar prostat kira-kira sebesar buah kenari besar, letaknya di bawah kandung kemih.
Normal beratnya prostat pada orang dewasa diperkirakan 20 gram.

Patogenesis

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan uretra prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini akan menyebakan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan tersebut. Kontraksi yang terus-menerus ini akan menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula dan divertikel buli-buli.

Perubahan struktur buli-buli dirasakn oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract simptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatimus.

Tekanan intravesikal yang tinggi akan diteruskan keseluruh bagian buli-buli, tak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesikoureter. Keadaan ini jika berlangsug terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan akhirnya dapat jatuh kedalam gagal ginjal.

Patofisiologi

Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Adanya obstruksi jalan kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi melemah, dan rasa belum puas selesai miksi. Gejala iritasi disebabkan oleh hipersentivitas otot detrusor, berarti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh. Keadaan ini membuat sistem scoring untuk menentukan beratnya keluhan klinik penderita hipertropi prostat.

Apabila vesica menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urine sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urine di dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi.

Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi karena produksi urine terus terjadi maka pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menahan urine, sehingga tekanan vesika terus meningakat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi dari pada tekanan spincter dan obstruksi, akan terjadi Inkotinensia Paradoks Retensi kronik menyebabkan refluks vesicoureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila ada infeksi.

Pada waktu miksi penderita harus selalu mengedan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau haemorhoid. Karena selalu terdapat sisa urine dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan cystitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pyelonefritis.

 

 

Ada 3 cara untuk mengukur besarnya hipertropi prostat, yaitu

1)      Rectal grading

Recthal grading atau rectal toucher dilakukan dalam keadaan buli-buli kosong. Sebab bila buli-buli penuh dapat terjadi kesalahan dalam penilaian. Dengan rectal toucher diperkirakan dengan beberapa cm prostat menonjol ke dalam lumen dan rectum. Menonjolnya prostat dapat ditentukan dalam grade. Pembagian grade sebagai berikut :

0 – 1 cm……….: Grade 0

1 – 2 cm……….: Grade 1

2 – 3 cm……….: Grade 2

3 – 4 cm……….: Grade 3

Lebih 4 cm…….: Grade 4

Biasanya pada grade 3 dan 4 batas dari prostat tidak dapat diraba karena benjolan masuk ke dalam cavum rectum. Dengan menentukan rectal grading maka didapatkan kesan besar dan beratnya prostat dan juga penting untuk menentukan macam tindakan operasi yang akan dilakukan. Bila kecil (grade 1), maka terapi yang baik adalah T.U.R (Trans Urethral Resection) Bila prostat besar sekali (grade 3-4) dapat dilakukan prostatektomy terbuka secara trans vesical.

2)      Clinical grading

Pada pengukuran ini yang menjadi patokan adalah banyaknya sisa urine. Pengukuran ini dilakukan dengan cara, pagi hari pasien bangun tidur disuruh kemih sampai selesai, kemudian dimasukkan catheter ke dalam kandung kemih untuk mengukur sisa urine.
Sisa urine 0 cc……………….…… Normal

Sisa urine 0 – 50 cc…………….… Grade 1

Sisa urine 50 – 150 cc……………. Grade 2

Sisa urine >150 cc………………… Grade 3

Sama sekali tidak bisa kemih…… Grade 4

3)       Intra urethra grading

Untuk melihat seberapa jauh penonjolan lobus lateral ke dalam lumen urethra. Pengukuran ini harus dapat dilihat dengan penendoskopy dan sudah menjadi bidang dari urology yang spesifik.

Efek yang dapat terjadi akibat hypertropi prostat:

a)      Terhadap urethra

Bila lobus medius membesar, biasanya arah ke atas mengakibatkan urethra pars prostatika bertambah panjang, dan oleh karena fiksasi ductus ejaculatorius maka perpanjangan akan berputar dan mengakibatkan sumbatan.

b)      Terhadap vesica urinaria

Pada vesica urinaria akan didapatkan hypertropi otot sebagai akibat dari proses kompensasi, dimana muscle fibro menebal ini didapatkan bagian yang mengalami depresi (lekukan) yang disebut potensial divertikula.

Pada proses yang lebih lama akan terjadi dekompensasi dari pada otot-otot yang hypertropi dan akibatnya terjadi atonia (tidak ada kekuatan) dari pada otot-otot tersebut.
Kalau pembesaran terjadi pada medial lobus, ini akan membentuk suatu post prostatika pouch, ini adalah kantong yang terdapat pada kandung kemih dibelakang medial lobe.
Post prostatika adalah sebagai sumber dari terbentuknya residual urine (urine yang tersisa) dan pada post prostatika pouch ini juga selalu didapati adanya batu-batu di kandung kemih.

c)      Terhadap ureter dan ginjal

Kalau keadaan urethra vesica valve baik, maka tekanan ke ekstra vesikel tidak diteruskan ke atas, tetapi bila valve ini rusak maka tekanan diteruskan ke atas, akibatnya otot-otot calyces, pelvis, ureter sendiri mengalami hipertropy dan akan mengakibatkan hidronefrosis dan akibat lanjut uremia.

d)     Terhadap sex organ

Mula-mula libido meningkat, teatapi akhirnya libido menurun.

Faktor resiko

Pada umumnya terjadi pada pria yang berusia di atas 50 tahun dan mencapai puncak pada usia 80 tahun dan jarang terjadi pada usia di bawah 40 tahun.

 

 

Gejala Klinik

Terbagi 4 grade yaitu :

I.            Pada grade 1 (congestic)

  1. Mula-mula pasien berbulan atau beberapa tahun susah kemih dan mulai mengedan.
  2. Kalau miksi merasa puas.
  3. Urine keluar menetes dan pancaran lemah.
  4. Nocturia
  5. Urine keluar malam hari lebih dari normal.
  6. Ereksi lebih lama dari normal dan libido lebih dari normal.
  7. Pada cytoscopy kelihatan hyperemia dari orificium urethra interna. Lambat laun terjadi varices akhirnya bisa terjadi perdarahan (blooding)

II.            Pada grade 2 (residual)

  1. Bila miksi terasa panas.
  2. Dysuri nocturi bertambah berat.
  3. Tidak bisa buang air kecil (kemih tidak puas).
  4. Bisa terjadi infeksi karena sisa air kemih.
  5. Terjadi panas tinggi dan bisa menggigil.
  6. Nyeri pada daerah pinggang (menjalar ke ginjal).

III.            Pada grade 3 (retensi urine)

  1. Ischuria paradosal.
  2. Incontinensia paradosal.

IV.            Pada grade 4

  1. Kandung kemih penuh.
  2. Penderita merasa kesakitan.
  3. Air kemih menetes secara periodik yang disebut over flow incontinensia.
  4. Pada pemeriksaan fisik yaitu palpasi abdomen bawah untuk meraba ada tumor, karena bendungan yang hebat.
  5. Dengan adanya infeksi penderita bisa menggigil dan panas tinggi sekitar 40–410 C.
  6. Selanjutnya penderita bisa koma.

Diagnostik test

Diagnosa klinik pembesaran prostat dapat ditegakkan dengan pemeriksaan sebagai berikut :

  1. Anamnese yang baik
  2. Pemeriksaan fisik

Dapat dilakukan dengan pemeriksaan rectal toucher, dimana pada pembesaran prostat jinak akan teraba adanya massa pada dining depan rectum yang konsistensinya kenyal, yang kalau belum terlalu besar masih dapat dicapai batas atasnya dengan ujung jari, sedang apabila batas atasnya sudah tidak teraba biasanya jaringan prostat sudah lebih dari 60 gr.

  1. Pemeriksaan sisa kemih
  2. Pemeriksaan ultra sonografi (USG)

Dapat dilakukan dari supra pubic atau transrectal (Trans Rectal Ultra Sonografi :TRUS). Untuk keperluan klinik supra pubic cukup untuk memperkirakan besar dan anatomi prostat, sedangkan TRUS biasanya diperlukan untuk mendeteksi keganasan.

  1. Pemeriksaan endoscopy

Bila pada pemeriksaan rectal toucher, tidak terlalu menonjol tetapi gejala prostatismus sangat jelas atau untuk mengetahui besarnya prostat yang menonjol ke dalam lumen.

  1. Pemeriksaan radiologi

Dengan pemeriksaan radiology seperti foto polos perut dan pyelografi intra vena yang sering disebut IVP (Intra Venous Pyelografi) dan BNO (Buich Nier Oversich). Pada pemeriksaan lain pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek irisan kontras pada dasar kandung kemih dan ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata kail/pancing (fisa hook appearance).

  1. Pemeriksaan CT- Scan dan MRI

Computed Tomography Scanning (CT-Scan) dapat memberikan gambaran adanya pembesaran prostat, sedangkan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat memberikan gambaran prostat pada bidang transversal maupun sagital pada berbagai bidang irisan, namun pameriksaan ini jarang dilakukan karena mahal biayanya.

 

 

  1. Pemeriksaan sistografi

Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan urine ditemukan mikrohematuria. pemeriksaan ini dapat memberi gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas apabila darah datang dari muara ureter atau batu radiolusen di dalam vesica. Selain itu sistoscopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang urethra pars prostatica dan melihat penonjolan prostat ke dalam urethra.

  1. Pemeriksaan lain

Secara spesifik untuk pemeriksaan pembesaran prostat jinak belum ada, yang ada ialah pemeriksaan penanda adanya tumor untuk karsinoma prostat yaitu pemeriksaan Prostatic Spesifik Antigen (PSA), angka penggal PSA ialah 4 nanogram/ml.

Diagnosa banding

Oleh karena adanya proses miksi tergantung pada kekuatan kontraksi detrusor, elastisitas leher kandung kemih dengan tonus ototnya dan resistensi urethra yang merupakan faktor dalam kesulitan miksi.

Setiap kesulitan miksi disebabkan oleh salah satu dari ketiga faktor di bawah :

  1. Kelemahan detrusor kandung kemih

ü  Ganguan neurologik

ü  kelainan medula spinals

ü  neuropatia diabetes mellitus

ü  pasca bedah radikal di pelvis

ü  farmakologik ( obat penenang, penghanbat alfa, parasimpatolitik)

  1. Kekakuan lehar kandung kemih

ü  Fibrosis

  1. Resistensi uretra

ü  hipertrofi prostat ganas atau jinak

ü  kelainan yang menyumbat uretra

 

ü  uretrolitiasis

ü  uretritis akut dan kronik

Pengobatan

Setiap kesulitan miksi yang diakibatkan dari salah satu faktor seperti berkurangnya kekuatan kontraksi detrusor atau menurunya elastisitas leher vesica, maka tindakan pengobatan ditujukan untuk mengurangi volume prostat, mengurangi tonus leher vesica atau membuka urethra pars prostatica dan menambah kekuatan kontraksi detrusor agar proses miksi menjadi mudah.

Pengobatan untuk hipertropy prostat ada 2 macam :

  1. Konsevatif

Pengobatan konservatif ini bertujuan untuk memperlambat pertumbuhan pembesaran prostat. Tindakan dilakukan bila terapi operasi tidak dapat dilakukan, misalnya : menolak operasi atau adanya kontra indikasi untuk operasi.

Tindakan terapi konservatif yaitu :

  1. Mengusahakan agar prostat tidak mendadak membesar karena adanya infeksi sekunder dengan pemberian antibiotika.
  2. Bila retensi urine dilakukan catheterisasi.
  3. Operatif

Pembedahan merupakan pengobatan utama pada hipertropi prostat benigna (BPH), pada waktu pembedahan kelenjar prostat diangkat utuh dan jaringan soft tissue yang mengalami pembesaran diangkat melalui 4 cara yaitu :

a)      Transurethral

Dilaksanakan bila pembesaran terjadi pada lobus medial yang langsung mengelilingi urethra. Jaringan yang direseksi hanya sedikit sehingga tidak terjadi perdarahan dan waktu pembedahan tidak terlalu lama. Rectoscope disambungkan dengan arus listrik lalu di masukkan ke dalam urethra.Kandung kemih di bilas terus menerus selama prosedur berjalan.Pasien mendapat alat untuk masa terhadap shock listrik dengan lempeng logam yang di beri pelumas di tempatkan pada bawah paha.Kepingan jaringan yang halus di buang dengan irisan dan tempat-tempat perdarahan di tutup dengan cauter.

Setelah TURP di pasang catheter Foley tiga saluran yang di lengkapi balon 30 ml.Setelah balon catheter di kembangkan, catheter di tarik ke bawah sehingga balon berada pada fosa prostat yang bekerja sebagai hemostat.Ukuran catheter yang besar di pasang untuk memperlancar pengeluaran gumpalan darah dari kandung kemih.
Kandung kemih diirigasi terus dengan alat tetesan tiga jalur dengan garam fisiologisatau larutan lain yang di pakai oleh ahli bedah.Tujuan dari irigasi konstan ialah untuk membebaskan kandung kemih dari ekuan darah yang menyumbat aliran kemih.Irigasi kandung kemih yang konstan di hentikan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan dari kandung kemih.Kemudian catheter bisa dibilas biasa tiap 4 jam sekali sampai catheter di angkat biasanya 3 sampai 5 hari setelah operasi.Setelah catheter di angkat pasien harus mengukur jumlah urine dan waktu tiap kali berkemih.

b)      Suprapubic Prostatectomy

Metode operasi terbuka, reseksi supra pubic kelenjar prostat diangkat dari urethra lewat kandung kemih.

c)      Retropubic Prostatectomy

Pada prostatectomy retropubic dibuat insisi pada abdominal bawah tapi kandung kemih tidak dibuka.

d)     Perineal prostatectomy

Dilakukan pada dugaan kanker prostat, insisi dibuat diantara scrotum dan rectum.

Dalam pengobatan ini dilakukan berdasarkan pembagian besarnya prostat, yaitu derajat 1 – 4.

  1. Derajat I

Dilakukan pengobatan koservatif, misalnya dengan fazosin, prazoin dan terazoin (untuk relaksasi otot polos).

  1. Derajat II

Indikasi untuk pembedahan. Biasanya dianjurkan resekesi endoskopik melalui urethra.

 

 

  1. Derajat III

Diperkirakan prostat cukup besar dan untuk tindakan yang dilakukan yaitu pembedahan terbuka melalui transvesical, retropubic atau perianal.

  1. Derajat IV

Membebaskan penderita dari retensi urine total dengan memasang catheter, untuk pemeriksaan lebih lanjut dalam pelaksanaan rencana pembedahan.

Komplikasi

  1. Perdarahan
  2. Inkotinensia
  3. Batu kandung kemih
  4. Retensi urine
  5. Impotensi
  6. Epididimitis
  7. Haemorhoid, hernia, prolaps rectum akibat mengedan
  8. Infeksi saluran kemih disebabkan karena catheterisasi
  9. Hydronefrosis

Hal-hal yang harus dilakukan pada pasien setelah pulang dari rumah sakit adalah ;

ü  latihan berat, mengangkat berat dan sexual intercourse dihindari selama 3 minggu setelah dirumah.

ü  Tidak boleh membawa kendaraan.

ü  Mengedan pada saat defekasi harus dihindari, faeces harus lembek kalau perlu pemberian obat untuk melembekkan faeces.

ü  Menganjurkan banyak minum untuk mencegah statis dan infeksi dan membuat faeces lembek.

 

 

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

Asuhan keperawatan pasien dengan hipertropi prostat melalui pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian keperawatan, perencanaan keperawatan, pelaksanaan dan evaluasi keperawatan.

ü  Pengkajian Keperawatan

ü  Pengumpulan data

Data dasar yang berhubungan dengan post operasi hipertropi prostat. Mengelompokkan data merupakan langkah yang dilakukan setelah mengadakan pengumpulan data yang diperoleh sebagai berikut :

  1. Nyeri pada daerah tindakan operasi.
  2. Pusing.
  3. Perubahan frekuensi berkemih.
  4. Urgensi.
  5. Dysuria
  6. Flatus negatif.
  7. Luka tindakan operasi pada daerah prostat.
  8. Retensi, kandung kemih penuh.
  9. Inkontinensia
  10. Bibir kering.
  11. Puasa.
  12. Bising usus negatif.
  13. Ekspresi wajah meringis.
  14. Pemasangan catheter tetap.
  15. Gelisah.
  16. Informasi kurang.
  17. Urine berwarna kemerahan.

 

 

ü  Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan disusun menurut prioritas masalah pada pasien post operasi hipertropi prostat, adalah sebagai berikut :

  1. Perubahan eliminasi urine berhubungan obstruksi mekanikal : bekuan darah, oedema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi catheter/balon.
  2. Resiko terjadi kekurangan volume cairan ditandai dengan area bedah vaskuler : kesulitan mengontrol perdarahan.
  3. Resiko infeksi ditandai dengan prosedur invasive : alat selama pembedahan, catheter, irigasi kandung kemih sering, trauma jaringan, insisi bedah.
  4. Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih : refleks spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan / tekanan dari balon kandung kemih.
  5. Resiko terjadi disfungsi seksual ditandai dengan situasi krisis (inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan catheter, keterlibatan area genital)
  6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri post operasi.
  7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum
  8. Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi

ü  Perencanaan Keperawatan

  1. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi mekanikal : bekuan darah, oedema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan irigasi catheter/balon, ditandai dengan :
  • Nyeri pada daerah tindakan operasi.
  • Perubahan frekuensi berkemih.
  • Urgensi.
  • Dysuria.
  • Pemasangan catheter tetap.
  • Adanya luka tindakan operasi pada daerah prostat.
  • Urine berwarna kemerahan.

 

Tujuan : Klien mengatakan tidak ada keluhan, dengan kriteria :

  • Catheter tetap paten pada tempatntya.
  • Tidak ada sumbatan aliran darah melalui catheter.
  • Berkemih tanpa aliran berlebihan.
  • Tidak terjadi retensi pada saat irigasi.

Intervensi :

1)      Kaji haluaran urine dan sistem catheter/drainase, khususnya selama irigasi kandung kemih.

Rasional :

Retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan darah dan spasme kandung kemih.

2)      Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah catheter dilepas.
Rasional :

Catheter biasanya dilepas 2 – 5 hari setelah bedah, tetapi berkemih dapat berlanjut menjadi masalah untuk beberapa waktu karena edema urethral dan kehilangan tonus.

3)      Dorong klien untuk berkemih bila terasa dorongan tetapi tidak lebih dari 2 – 4 jam.

Rasional :

Berkemih dengan dorongan dapat mencegah retensi, urine. Keterbatasan berkemih untuk tiap 4 jam (bila ditoleransi) meningkatkan tonus kandung kemih dan membantu latihan ulang kandung kemih.

4)      Ukur volume residu bila ada catheter supra pubic.

Rasional :

Mengawasi keefektifan kandung kemih untuk kosong. Residu lebih dari 50 ml menunjukkan perlunya kontinuitas catheter sampai tonus otot kandung kemih membaik.

 

5)      Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi.

Rasional :

Mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urine.

6)      Kolaborasi medis untuk irigasi kandung kemih sesuai indikasi pada periode pasca operasi dini.

Rasional :

Mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan untuk mempertahankan patensi catheter/aliran urine.

  1. Resiko terjadi kekurangan volume cairan ditandai dengan area bedah vaskuler :

kesulitan mengontrol perdarahan, ditandai dengan :

  • Pusing.
  • Flatus negatif.
  • Bibir kering.
  • Puasa
  • Bising usus negatif.
  • Urine berwarna kemerahan.

Tujuan : Tidak terjadi kekurangan volume cairan, dengan kriteria :

  • Tanda-tanda vital normal.
  • Nadi perifer teraba.
  • Pengisian kapiler baik.
  • Membran mukosa baik.
  • Haluaran urine tepat.

Intervensi :

1)      Benamkan catheter, hindari manipulasi berlenihan.

Rasional :

Penarikan/gerakan catheter dapat menyebabkan perdarahan atau pembentukan bekuan darah.

 

2)      Awasi pemasukan dan pengeluaran cairan.

Rasional :

Indicator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian. Pada irigasi kandung kemih, awasi perkiraan kehilangan darah dan secara akurat mengkaji haluaran urine.

3)      Evaluasi warna, komsistensi urine.

Rasional :

Untuk mengindikasikan adanya perdarahan.

4)      Awasi tanda-tanda vital

Rasional :

Dehidrasi/hipovolemia memerlukan intervensi cepat untuk mencegah berlanjut ke syok. Hipertensi, bradikardi, mual/muntah menunjukkan sindrom TURP, memerlukan intervensi medik segera.

5)      Kolaborasi untuk pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi (Hb/Ht, jumlah sel darah merah)

Rasional :

Berguna dalam evaluasi kehilangan darah/kebutuhan penggantian.

  1. Resiko infeksi ditandai berhubungan dengan prosedur pembedahan, catheter, irigasi kandung kemih sering, trauma jaringan, insisi bedah, ditandai dengan :
  • Nyeri daerah tindakan operasi.
  • Dysuria.
  • Luka tindakan operasi pada daerah prostat.
  • Pemasangan catheter tetap.

Tujuan : Menunjukkan tidak tampak tanda-tanda infeksi, dengan kriteria :

  • Tidak tampak tanda-tanda infeksi.
  • Inkontinensia tidak terjadi.
  • Luka tindakan bedah cepat kering.

 

Intervensi :

1)      Berikan perawatan catheter tetap secara steril.

Rasional :

Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi/cross infeksi.

2)      Ambulasi kantung drainase dependen.

Rasional :

Menghindari refleks balik urine, yang dapat memasukkan bakteri ke kandung kemih.

3)      Awasi tanda-tanda vital.

Rasional :

Klien yang mengalami TUR beresiko untuk syok bedah/septic sehubungan dengan instrumentasi.

4)      Ganti balutan dengan sering, pembersihan dan pengeringan kulit sepanjang waktu.

Rasional :

Balutan basah dapat menyebabkan iritasi, dan memberikan media untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan resiko infeksi.

5)      Kolaborasi medis untuk pemberian golongan obat antibiotika.

Rasional :

Dapat membunuh kuman patogen penyebab infeksi.

  1. Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih : refleks spasme otot berhubungan dengan prosedur bedah dan/tekanan dari balon kandung kemih, ditandai dengan :
  • Nyeri pada daerah tindakan operasi.
  • Luka tindakan operasi.
  • Ekspresi wajah meringis.
  • Retensi urine, sehingga kandung kemih penuh.

 

 

Intervensi :

1)      Kaji tingkat nyeri.

Rasional :

Mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan klien dan memudahkan kita dalam memberikan tindakan.

2)      Pertahankan posisi catheter dan sistem drainase.

Rasional :

Mempertahankan fungsi catheter dan sistem drainase, menurunkan resiko distensi/spasme kandung kemih.

3)      Ajarkan tekhnik relaksasi.

Rasional :

Merileksasikan otot-otot sehingga suplay darah ke jaringan terpenuhi / adekuat, sehingga nyeri berkurang.

4)      Berikan rendam duduk bila diindikasikan.

Rasional :

Meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema dan meningkatkan penyembuhan.

5)      Kolaborasi medis untuk pemberian anti spasmodic dan analgetika.

Rasional :

ü  Golongan obat anti spasmodic dapat merilekskan otot polos, untuk memberikan  / menurunkan spasme dan nyeri.

ü  Golongan obat analgetik dapat menghambat reseptor nyeri sehingga tidak diteruskan ke otak dan nyeri tidak dirasakan.

 

 

 

  1. Resiko terjadi disfungsi seksual ditandai dengan situasi krisis ( inkontinensia, kebocoran urine setelah pengangkatan catheter, keterlibatan area genital ) ditandai dengan :
  • Tindakan pembedahan kelenjar prostat.

Tujuan : Fungsi seksual dapat dipertahankan, kriteria :

  • Pasien dapat mendiskusikan perasaannya tentang seksualitas dengan orang terdekat.

Intervensi :

1)      Berikan informasi tentang harapan kembalinya fungsi seksual.

Rasional :

Impotensi fisiologis : terjadi bila saraf perineal dipotong selama prosedur bedah radikal ; pada pendekatan lain, aktifitas seksual dapat dilakukan seperti biasa dalam 6 – 8 minggu.

2)      Diskusikan dasar anatomi.

Rasional :

Saraf pleksus mengontrol aliran secara posterior ke prostat melalui kapsul. Pada prosedur yang tidak melibatkan kapsul prostat, impoten dan sterilitas biasanya tidak terjadi.

3)      Instruksikan latihan perineal.

Rasional :

Meningkatkan peningkatan kontrol otot kontinensia urine dan fungsi seksual.

4)      Kolaborasi ke penasehat seksualitas/seksologi sesuai indikasi.

Rasional :

Untuk memerlukan intervensi professional selanjutnya.

 

 

 

  1. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri post operasi.

Tujuan : pasien dapat tidur dengan nyaman, dengan kriteria :

  • pasien mengungkapkan kemampuan untuk tidur.
  • pasien tidak merasa lelah ketika bangun tidur- kualitas dan kuantitas tidur normal

Intervensi :

1)      Mandiri

  1. Berikan kesempatan untuk beristirahat / tidur sejenak, anjurkan latihan pada siang hari, turunkan aktivitas mental / fisik pada sore hari.

Rasional : Karena aktivitas fisik dan mental yang lama mengakibatkankelelahan yang dapat mengakibatkan kebingungan, aktivitas yang terprogram tanpa stimulasi berlebihan yang meningkatkan waktu tidur.

  1. Hindari penggunaan ”Pengikatan” secara terus menerus

Rasional : Risiko gangguan sensori, meningkatkan agitasi dan menghambat waktu istirahat.

  1. Evaluasi tingkat stres / orientasi sesuai perkembangan hari demi hari.

Rasional : Peningkatan kebingungan, disorientasi dan tingkah laku yang tidak kooperatif (sindrom sundowner) dapat melanggar pola tidur yang mencapai tidur pulas

  1. Lengkapi jadwal tidur dan ritoal secara teratur. Katakan pada pasien bahwa saat ini adalah waktu untuk tidur.

Rasional : Pengatan bahwa saatnya tidur dan mempertahankan kestabilan lingkungan.Catatan : Penundaan waktu tidur mungkin diindikasikan untuk memungkin pasien membuang kelebihan energi dan memfasilitas tidur.

  1. Berikan makanan kecil sore hari, susu hangat, mandi dan masase punggung.

Rasional : Meningkatkan relaksasi dengan perasan mengantuk

  1. Turunkan jumlah minum pada sore hari. Lakukan berkemih sebelum tidur

Rasional : Menurunkan kebutuhan akan bangun untuk pergi kekamar mandi/berkemih selama malam hari.

  1. Putarkan musik yang lembut atau ”suara yang jernih”

Rasional : Menurunkan stimulasi sensori dengan menghambat suara-suara lain dari lingkungan sekitar yang akan menghambat tidur nyeyak.

2)      Kolaborasi

  1. Berikan obat sesuai indikasi : Antidepresi, seperti amitriptilin (Elavil); deksepin (Senequan) dan trasolon (Desyrel).

Rasional : Mungkin efektif dalam menangani pseudodimensia atau depresi, meningkatkan kemampuan untuk tidur, tetapi anti kolinergik dapat mencetuskan dan memperburuk kognitif dalam efek samping tertentu (seperti hipotensi ortostatik) yang membatasi manfaat yang maksimal.

  1. Koral hidrat; oksazepam (Serax); triazolam (Halcion).

Rasional : Gunakan dengan hemat, hipnotik dosis rendah mungkin efektif dalam mengatasi insomia atau sindrom sundowner.

  1. Hindari penggunaan difenhidramin (Benadry1).

Rasional : Bila digunakan untuk tidur, obat ini sekarang dikontraindikasikan karena obat ini mempengaruhi produksi asetilkon yang sudah dihambat dalam otak pasien dengan DAT ini.

  1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum

Tujuan : klien dapat melakukan aktivitas ringan atau total, dengan kriteria hasil :

  • Perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
  • Pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
  • Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.

 

 

Intervensi

1)      Rencanakan periode istirahat yang cukup.

Rasional : mengurangi aktivitas yang tidak diperlukan, dan energi terkumpul dapat digunakan untuk aktivitas seperlunya secar optimal.

2)      Berikan latihan aktivitas secara bertahap.

Rasional : tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan yang tepat, mobilisasi dini.

3)      Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.

Rasional : mengurangi pemakaian energi sampai kekuatan pasien pulih kembali.

4)      Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.

Rasional : menjaga kemungkinan adanya respons abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.

  1. Anxietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi, ditandai dengan :
  • Gelisah.
  • Informasi kurang

Tujuan : Klien mengungkapkan anxietas teratasi, dengan kriteria :

  • Klien tidak gelisah.
  • Tampak rileks

Intervensi :

1)      Kaji tingkat anxietas.

Rasional :

Mengetahui tingkat anxietas yang dialami klien, sehingga memudahkan dalam memberikan tindakan selanjutnya.

 

 

2)      Observasi tanda-tanda vital.

Rasional :

Indikator dalam mengetahui peningkatan anxietas yang dialami klien.

3)      Berikan informasi yang jelas tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.

Rasional :

Mengerti/memahami proses penyakit dan tindakan yang diberikan.

4)      Berikan support melalui pendekatan spiritual.

Rasional :

Agar klien mempunyai semangat dan tidak putus asa dalam menjalankan pengobatan untuk penyembuhan

ü  Pelaksanaan Asuhan Keperawatan

Pada langkah ini, perawat memberikan asuhan keperawatan, yang pelaksanaannya berdasarkan rencana keperawatan yang telah disesuaikan pada langkah sebelumnya (perencanaan tindakan keperawatan).

ü  Evaluasi Keperawatan

Asuhan keperawatan dalam bentuk perubahan prilaku pasien merupakan focus dari evaluasi tujuan, maka hasil evaluasi keperawatan dengan post operasi hipertropi prostat adalah sebagai berikut :

  1. Pola eliminasi urine dapat normal.

Kriteria hasil :

ü  Menunjukkan prilaku untuk mengendalikan refleks kandung kemih.

ü  Pengosongan kandung kemih tanpa adanya penekanan/distensi kandung kemih/retensi urine.

 

 

  1. Terpenuhinya kebutuhan cairan.

Kriteria hasil :

ü  Tanda-tanda vital normal

ü  Nadi perifer baik/teraba.

ü  Pengisian kapiler baik.

ü  Membran mukosa lembab.

ü  Haluaran urine tepat.

  1. Mencegah terjadinya infeksi.

Kriteria hasil :

ü  Tercapainya penyembuhan dan tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi.

  1. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.

Kriteria hasil :

ü  Menunjukkan keterampilan penggunaan relaksasi dan aktifitas terapeutik sesuai indikasi dan situasi individu.

ü  Tampak rileks.

  1. Fungsi seksual dapat dipertahankan.

Kriteria hasil :

ü  Menyatakan pemahaman situasi individual

ü  Menunjukkan keterampilan pemecahan masalah.

  1. Klien dapat tidur dengan nyaman

Kriteria hasil :

ü  Klien mengungkapkan kemampuan untuk tidur.

ü  Klien tidak merasa lelah ketika bangun tidur- kualitas dan kuantitas tidur normal

  1. Klien dapat melakukan aktivitas ringan atau total

Kriteria hasil :

ü  Perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.

ü  Klien mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.

ü  Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.

 

  1. Klien mengerti/memahami tentang penyakitnya.

Kriteria hasil :

ü  Berpartisipasi dalam program pengobatan.

ü  Melakukan perubahan prilaku yang perlu.

ü  Melakukan dengan benar prosedur yang perlu dan menjelaskan alasan tindakan.

 

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

AsKep BRVO

BRVO

 ( Branch Retina Vena Occulusion )

 

Definisi

Branch Retinal Vein Occlusion (BRVO) atau sumbatan cabang vena sentralis retina adalah penyakit yang menyerang pembuluh darah retina. Retina adalah selaput syaraf yang melapisi dinding dalam bola mata. Fungsi retina dapat disamakan dengan film dalam kamera, yaitu untuk menangkap gambaran bayangan yang di pancarkan melalui lensa mata. Kelainan ini dapat menyebabkan penurunan tajam penglihatan akibat perdarahan dan oedem (pembengkakkan) makula.

Sebuah oklusi vena retina cabang dasarnya adalah penyumbatan bagian dari sirkulasi yang mengalir retina darah. Arteri memberikan darah keretina. Sel-sel darah merah dan plasma maka tentu saja melalui kapiler dan akhirnya kedalam system vena, akhirnya mencapai vena retina sentral dengan penyumbatan pembuluh darah apapun, ada back-up tekanan dikapiler, yang menyebabkan perdarahan dan kebocoran cairan pada retina. Biasanya, oklusi terjadi pada situs mana lintas arteri dan vena. Situs oklusi menentukan batas atau distribusi perdarahan, mulai dari vena cabang kecil yang memunculkan suatu oklusi yang melibatkan satu setengah dari retina ke oklusi vena retina sentral, yang melibatkan seluruh retina.

Etiologi

Sebagian besar kasus BRVO adalah karena faktor idiopatik. Biasanya, pasien memiliki faktor predisposisi anatomi, seperti persimpangan arteriovenosa mana arteri kompres vena. Kompresi Hal ini menyebabkan pembentukan gumpalan dan BRVO berikutnya.

 

 

Kondisi peradangan yang mempengaruhi pembuluh darah retina dapat menyebabkan kerusakan lokal yang predisposes individu untuk pembentukan bekuan intravaskular dengan BRVO berikutnya.

  • Beberapa kondisi inflamasi dilaporkan dalam literatur adalah sebagai berikut:

ü  Sarkoidosis

ü  Penyakit Lyme

ü  Serpiginous Choroiditis

ü  Hipertensi arteri dan hiperkolesterolemia, yang keduanya memberikan kontribusi terhadap atherogenesis, telah diidentifikasi sebagai faktor risiko BRVO.

ü  Aterosklerosis sendiri baru-baru ini diakui sebagai penyakit ringan kronis inflamasi dengan pola sitokin proinflamasi yang berbeda. Selain peran mereka dalam atherogenesis, beberapa sitokin telah terbukti memberi efek procoagulatory dan dengan demikian dapat memberikan kontribusi pada pengembangan BRVO dengan mekanisme kedua.

ü  Gene polimorfisme mempengaruhi ekspresi sitokin peradangan terkait adalah kandidat sebagai faktor risiko potensial untuk BRVO. Genotipe dari fungsional polimorfisme nukleotida tunggal berikut ditentukan: interleukin 1 beta (IL-1B)-511C> T, interleukin 1 reseptor antagonis (IL-1RN) 1018T> C, interleukin 4 (IL-4)-584C> T, interleukin 6 (IL-6)-174G> C, interleukin 8 (IL-8)-251A> T, interleukin 10 (IL-10)-592C> A, interleukin 18 (IL-18) 183A> G, tumor necrosis factor ( TNF)-308G> A, protein chemoattractant monosit 1. Distribusi genotipe Baik maupun frekuensi alel dari setiap polimorfisme diselidiki berbeda secara signifikan antara pasien dengan BRVO dan kontrol.

  • Kondisi trombofilik, seperti berikut ini, juga mungkin terlibat:

ü   Kekurangan protein S

ü  Defisiensi protein C

ü  Resistensi terhadap protein C diaktifkan (faktor V Leiden)

ü  Antithrombin III defisiensi

ü  Antifosfolipid antibodi sindrom

ü  Lupus eritematosus

ü  Gammopathies

ü  Gene polimorfisme terkait dengan hemostasis mungkin juga berkontribusi terhadap pengembangan BRVO. Kebanyakan penelitian, tapi tidak semua, gagal untuk mendeteksi hubungan antara varian genetik dan BRVO.

Patofisiologi

Hipertensi, aterosklerosis, kondisi peradangan, atau trombofilik dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah retina endotel. Di mata dengan predisposisi anatomi, pembentukan trombus intravaskular dapat terjadi. Tambahan dua pertiga dari BRVOs terjadi di kuadran supertemporal. Angka ini mungkin berhubungan dengan peningkatan jumlah penyeberangan arteriovenosa di kuadran ini sehubungan dengan sisanya. Selain itu, BRVOs hidung sering tidak menunjukkan gejala, karena itu, pasien dengan jenis BRVO tidak mencari evaluasi tetes mata. Mata dengan penyeberangan arteriovenosa tampaknya beresiko untuk BRVO. Dalam mata, arteri adalah anterior vena dalam banyak kasus. Arteri dan vena berbagi selubung adventitial umum. Peningkatan kekakuan arteri dapat menjadi faktor mekanis dalam patogenesis BRVO.

Kompresi arteri vena diyakini menjadi penyebab utama BRVO. Kompresi vena dapat menyebabkan aliran turbulen dalam vena. Aliran turbulen dalam kombinasi dengan kerusakan endotel vaskular yang sudah ada sebelumnya dari kondisi yang berbeda menciptakan lingkungan setempat menguntungkan bagi pembentukan trombus intravaskular. Setelah aliran vena terganggu atau terputus, iskemia retina terjadi kemudian hilir dari tempat oklusi. Iskemia retina adalah salah satu yang paling penting up-regulator faktor produksi pertumbuhan endotel vaskular (VEGF)

 

BRVO menghasilkan peningkatan transien cepat dalam ekspresi VEGF dan peningkatan yang tertunda dalam ekspresi faktor pigmen epitel berasal (PEDF), inhibitor endogen yang paling ampuh VEGF.  VEGF telah terbukti menjadi pemain molekul kunci dalam patogenesis komplikasi utama dari BRVO, edema makula dan neovaskularisasi retina. sekresi VEGF menyebabkan kerusakan pada sawar darah-retina, memberikan kontribusi bagi pembentukan edema makula. Tingkat intraokular VEGF yang meningkat pada mata dengan edema makula sekunder untuk BRVO. Tingkat VEGF tinggi berkorelasi dengan tingkat dan keparahan bidang nonperfusion kapiler dan edema makula.

Rehak dkk juga melaporkan bahwa ada down-regulasi saluran kalium dan air dalam sel Müller, yang menyebabkan akumulasi cairan intraretinal memberikan kontribusi bagi pembentukan edema makula.

Epidemiologi

Frekuensi

Amerika Serikat

Oklusi vena retina (cabang dan pusat) adalah yang paling umum kedua penyakit pembuluh darah retina setelah retinopati diabetes. Studi Beaver Dam melaporkan prevalensi sebesar 0,6% pada pasien lebih tua dari 43 tahun. Insiden 15-tahun kumulatif BRVO adalah 1,8% dalam Studi Mata Beaver Dam.  Sebuah studi cross-sectional dari 6 komunitas di seluruh Amerika Serikat melaporkan bahwa prevalensi BRVO adalah 0,9%. Selanjutnya, penelitian yang sama menunjukkan bahwa prevalensi BRVO adalah serupa di seluruh kelompok etnis dan ras yang berbeda.

Internasional

Dalam sebuah studi berbasis populasi dari Australia, Blue Mountains Eye Study, prevalensi BRVO pada populasi lebih tua dari 48 tahun adalah 1,1%. Studi Singapura Eye Melayu melaporkan prevalensi 0,6% dari BRVO pada populasi Melayu dari orang yang berusia 40-80 tahun tinggal di Singapura.  The Eye Beijing studi melaporkan bahwa prevalensi BRVO pada populasi Cina orang ≥ 40 tahun usia adalah 1,3%.

Mortalitas / Morbiditas

Mengingat bahwa BRVO sering dikaitkan dengan kondisi vaskular sistemik bersamaan, kita harus bertanya-tanya apakah BRVO adalah penanda untuk mortalitas kardiovaskular atau morbiditas. Ada bukti yang bertentangan mengenai kematian pada pasien dengan BRVO.

Sebuah 9-tahun tindak lanjut studi di Inggris menunjukkan hubungan antara kematian kardiovaskular dan semua oklusi vena retina (termasuk cabang, pusat, dan hemiretinal).

Dalam studi lain, resiko 10-tahun terkena komplikasi kardiovaskular lebih tinggi pada pasien dengan BRVO dibandingkan pada mereka dengan CRVO.

The Beaver Dam Studi Mata melaporkan bahwa pasien dengan BRVO pada awal tidak memiliki risiko 8-tahun peningkatan kematian penyakit jantung iskemik.

Dalam studi Denmark, para peneliti tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam kematian antara pasien dengan BRVO dan masyarakat umum.

  • Ras

Tidak ada predileksi ras untuk penyakit ini adalah jelas

  • Seks

Tidak ada kecenderungan untuk kedua jenis kelamin jelas

  • Usia

Para pasien yang terkena biasanya dalam decade kelima atau keenam kehidupan

Faktor Risiko

Riwayat hipertensi sistemik, penyakit jantung, glaukoma, peningkatan indeks massa tubuh pada 20 yrs. tua, lebih tinggi tingkat serum alpha-2. dan aksial panjang lebih pendek mata.

Fitur klinis

  1. Cabang oklusi vena retina memiliki banyak kesamaan dengan retinopati diabetes, termasuk edema, nonperfusion kapiler, neovaskularisasi, perdarahan vitreous dan.
  2. Retinopati Diabetic adalah progresif terus kelainan mikrosirkulasi yang mungkin melibatkan seluruh fundus, sedangkan pada oklusi cabang vena kelainan disebabkan oleh peristiwa akut tunggal.
  3. Almost selalu tiba-tiba pada set penglihatan kabur atau cacat lapangan, segmentally didistribusikan perdarahan intraretinal. , Perdarahan Intraretinal kurang ditandai dengan oklusi nonischemic dan banyak lagi ditandai jika oklusi adalah iskemik
  4. The lokasi obstruksi menentukan distribusi dari perdarahan intraretinal; obstruksi di kepala saraf optik, akan melibatkan dua kuadran dari fundus sedangkan oklusi di perifer ke disk, satu kuadran atau kurang mungkin terlibat.
  5. Jika penyumbatan vena adalah pembuluh darah perifer ke anak sungai pengeringan makula, mungkin tidak ada keterlibatan makula dan tidak ada penurunan ketajaman visual. Sebuah blok yang tidak lengkap di A / V persimpangan dapat berlanjut menjadi oklusi yang lebih lengkap dan perdarahan menjadi lebih luas dalam minggu ke bulan berikutnya.
  6. After satu tahun atau lebih gambar, fundus mungkin menjadi lebih jinak dan perdarahan retina intra dapat diserap tetapi kelainan vena yang terjadi dapat bertahan termasuk non perfusi kapiler, pelebaran kapiler dan pembentukan jaminan kapal.
  7. Makula edema.
  8. Makula non perfusi.
  9. Vitreous perdarahan dari neovaskularisasi.

Visi Membatasi Komplikasi

Pada fase akut dari penyakit dengan perdarahan intraretinal besar, mungkin mustahil untuk mengevaluasi visi potensial; pasien harus diikuti setiap 2 sampai 3 bulan sampai ada kliring cukup perdarahan untuk memungkinkan evaluasi oleh fluorescein angiography.

Meskipun mungkin sulit untuk memberikan prognosis pada fase akut, akan sangat membantu untuk mengenali bahwa sekitar sepertiga sampai setengah dari pasien dengan BRVO memiliki visi untuk kembalinya 20/40 atau lebih baik tanpa terapi

Fluorescein Angiography dan nilai prognostik yang

Setelah fase akut BRVO telah berlalu dan perdarahan retina intra telah sebagian besar diserap, yang biasanya membutuhkan waktu 3 sampai 6 bulan, Fluorescein angiografi harus diperoleh

Fluorescein angiography adalah teknik hanya yang secara akurat akan menentukan kelainan kapiler dalam BRVO, yang karena itu sangat penting yang berkualitas tinggi angiografi diperoleh.

Ketika Fluorescein angiografi menunjukkan edema makula dengan keterlibatan cystoid dari fovea, tetapi tidak ada nonperfusion kapiler, diasumsikan bahwa edema makula adalah penyebab kehilangan penglihatan dan sekitar sepertiga dari pasien secara spontan akan mendapatkan kembali beberapa penglihatan.

Foveal kebocoran

Namun, pasien yang telah mengalami penurunan penglihatan selama lebih dari 1 tahun sebagai akibat dari edema makula sangat kecil kemungkinannya untuk mendapatkan kembali visi secara spontan.

Ketika edema makula hadir ophthalmoscopically dalam 6 bulan pertama setelah BRVO dan ada kebocoran sedikit atau tidak ada di FA, iskemia makula dapat menjadi penyebab adanya edema makula. Dalam kasus ini, edema menyerap hampir selalu secara spontan pada tahun pertama setelah oklusi dan sering dengan kembalinya penglihatan.

Bedah Pengobatan BRVO

Sebuah studi terbaru oleh Kumar dan rekan menduga bahwa penghapusan faktor tekan oleh sectioning selubung adventitial (sheathotomy) mungkin merupakan pengobatan yang efektif untuk BRVO. Ini masih merupakan arena yang sangat khusus.

Bedah Perawatan

Cabang oklusi vena retina (BRVOs) memiliki program yang relatif jinak. Namun demikian, komplikasi tertentu yang menyebabkan hilangnya penglihatan dapat terjadi. Komplikasi meliputi edema makula dan gejala sisa dari neovaskularisasi retina (misalnya, perdarahan vitreous, lepasan retina tractional, neovascular glaukoma). Teknik bedah dan laser Beberapa tersedia untuk menangani situasi ini.

  • Macular jaringan photocoagulation laser

ü  Macular jaringan photocoagulation laser adalah agak efektif dalam pengobatan edema makula dalam percobaan prospektif kecil, BVOS.

ü  Rekomendasi saat ini adalah menunggu 3 bulan untuk melihat apakah visi pasien secara spontan membaik.

ü  Jika tidak ada perbaikan terjadi dan jika perdarahan sebagian besar telah dibersihkan dari daerah makula, angiogram fluorescein diperoleh.Jika angiogram menunjukkan kebocoran di daerah makula yang bertanggung jawab untuk penurunan visi, pengobatan dengan laser jaringan makula dianjurkan. Setelah 3 tahun masa tindak lanjut perawatan, 63% dari laser mata diobati ditingkatkan dengan 2 atau lebih baris dari visi dibandingkan dengan 36% dari mata kontrol.

ü  Meskipun photocoagulation makula, mata diperoleh pada garis 1,33 rata-rata visi terhadap baseline. Pada 3-tahun follow up, 40% dari mata memiliki ketajaman visual kurang dari 20/40 dan 12% dari mata memiliki ketajaman visual kurang dari 20/200.

ü  Jika angiogram fluorescein mengungkapkan nonperfusion makula, terapi laser tidak dibenarkan, dan observasi dianjurkan. Finkelstein melaporkan bahwa mata dengan nonperfusion makula memiliki prognosis visual yang baik.  Dalam seri nya, ketajaman visual rata-rata adalah 20/30.

ü  Macular jaringan photocoagulation laser tetap menjadi pengobatan standar kriteria mata dengan edema makula perfusi sekunder untuk BRVO.

  • Pencar photocoagulation

ü  Para BVOS juga menunjukkan bahwa photocoagulation menyebarkan mengurangi prevalensi neovaskularisasi dari 40% menjadi 20%.

ü  Namun, jika semua mata dengan nonperfusion diobati, 60% pasien yang tidak akan pernah mengembangkan neovaskularisasi ingin diperlakukan.

ü  Jika hanya mata yang berkembang neovaskularisasi dirawat, peristiwa perdarahan vitreous akan menurun dari 60% menjadi 30%.

ü  Oleh karena itu, rekomendasinya adalah untuk menunggu sampai benar-benar neovaskularisasi berkembang sebelum photocoagulation pencar dianggap.

  • Laser-induced anastomosis chorioretinal

ü  Bypass saluran drainase vena yang normal retina dicoba dengan menciptakan komunikasi antara kapal terhambat dan koroid.

ü  Masalah dengan teknik ini adalah kurangnya keandalan dalam menciptakan anastomosis (kelompok yang paling melaporkan tingkat keberhasilan 30-50%) dan komplikasinya. Komplikasi dari prosedur termasuk ablasi retina tractional dan perdarahan vitreous.

 

 

 

 

  • Vitrectomy dan dekompresi arteriovenosa

ü  Hampir semua kasus BRVO terjadi di perlintasan arteriovenosa.

ü  Karena kompresi arteri diyakini sebagai penyebab utama kondisi ini, beberapa telah merekomendasikan mengangkat arteri dari vena yang mendasari untuk mengurangi kompresi.

ü  Beberapa kecil, seri yang tidak terkontrol telah menunjukkan hasil yang baik dalam meningkatkan edema makula dan perfusi makula.Namun, yang lain telah melaporkan kurangnya kemanjuran dari prosedur ini. Perencanaan dari percobaan multicenter dikendalikan saat ini sedang berlangsung.

  • Beberapa ahli bedah telah melaporkan resolusi edema makula sekunder untuk BRVO setelah vitrectomy dengan atau tanpa pengelupasan membran pembatas internal.
  • Vitrectomy dan pemisahan hyaloid posterior meningkatkan ketajaman visual di mata dengan edema makula sekunder untuk BRVO. Penambahan intravitreal triamsinolon tidak memiliki manfaat tambahan.
  • Sejumlah mata dapat mengembangkan peningkatan pasca operasi sementara dalam edema makula setelah vitrectomy. Edema menyelesaikan secara spontan dan tidak muncul untuk memiliki efek pada ketajaman visual.
  • Pars Plana vitrectomy teknik dengan atau tanpa scleral buckling mungkin diperlukan dalam mata dengan ablasio retina tractional dan rhegmatogenous.

Komplikasi BRVO

Neovaskularisasi retina dapat berkembang ketika wilayah non-perfusi kapiler adalah diameter disk lebih dari lima sebagai divisualisasikan dengan Fluorescein angiografi.

Oklusi vena cabang besar (melibatkan kuadran atau lebih), sekitar 50% berhubungan dengan area besar perfusi non-kapiler; ini 50% sekitar 40% akan mengembangkan neovaskularisasi.

Neovaskularisasi retina atau disk, atau keduanya, bisa terjadi setiap saat dalam 3 tahun pertama setelah oklusi sebuah tetapi yang paling mungkin untuk muncul dalam 6 sampai 12 bulan pertama setelah oklusi.

Mereka yang mengembangkan neovaskularisasi, sekitar 60% dari mereka mengalami episode perdarahan vitreous. Jika neo-vaskularisasi tidak diobati dapat menyebabkan kecacatan visual berkepanjangan di mata yang terkena

Iris neovaskularisasi merupakan komplikasi yang jarang dari BRVO; diabetes dapat meningkatkan risiko ini. Neovaskularisasi retina sangat sulit ditentukan pada BRVO karena agunan yang berkembang mungkin sering meniru neovaskularisasi.

Dalam BRVO neovaskularisasi pada retina sering meniru jaminan pada retina.
FFA membedakan antara jaminan dan neovaskularisasi.

Perhatian-komplikasi dan efek samping

Pertimbangan yang cermat dan diskusi dengan pasien sebelum mulai pengobatan diperlukan.

Dengan perhatian yang tepat terhadap detail, komplikasi jarang terjadi. Efek samping dari pengobatan, meliputi produksi scotoma. Rata-rata, visi akan meningkatkan dari 20 / 70-20 / 40.

Sangat penting untuk mengenali bahwa laser fotokoagulasi tidak boleh ditempatkan di atas perdarahan intraretinal luas dalam fase akut oklusi cabang vena Seperti dapat menghasilkan fibrosis preretinal.

Tunggu periode

Cabang Vein Occlusion Studi menekankan menunggu setidaknya 3 sampai 6 bulan sebelum mempertimbangkan terapi laser setelah BRVO

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Hello world!

Welcome to WordPress.com. After you read this, you should delete and write your own post, with a new title above. Or hit Add New on the left (of the admin dashboard) to start a fresh post.

Here are some suggestions for your first post.

  1. You can find new ideas for what to blog about by reading the Daily Post.
  2. Add PressThis to your browser. It creates a new blog post for you about any interesting  page you read on the web.
  3. Make some changes to this page, and then hit preview on the right. You can always preview any post or edit it before you share it to the world.
Dipublikasi di Uncategorized | 1 Komentar